Warga Desa Jasa Tolak Pemasangan Patok Batas Kawasan HPT, Desak Pemerintah Lakukan Verifikasi Ulang

 Sintang

SINTANG, ZKR.COM – Masyarakat Desa Jasa, Kecamatan Ketungau Hulu, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, secara tegas menolak kegiatan pemasangan patok batas kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) yang dilakukan di wilayah mereka.

Warga menilai bahwa penetapan batas kawasan tersebut tidak mencerminkan kondisi nyata di lapangan karena tumpang tindih dengan lahan perkebunan dan ladang yang telah digarap secara turun-temurun oleh masyarakat setempat.

Dalam pernyataannya, warga mendesak agar pemerintah segera melakukan verifikasi ulang dan penataan kembali (re-tatak batas) kawasan HPT secara partisipatif dan terbuka, dengan melibatkan unsur masyarakat serta tim independen agar hasilnya lebih objektif dan adil.

Menurut mereka, langkah ini penting untuk memastikan adanya pemisahan yang jelas antara kawasan hutan dengan lahan pertanian dan perkebunan milik warga.

Selain itu, masyarakat Desa Jasa juga menyatakan penolakan terhadap kebijakan yang menetapkan Bukit Bugau sebagai bagian dari kawasan HPT maupun hutan lindung. Warga mengusulkan agar wilayah tersebut ditetapkan sebagai Hutan Tutupan Masyarakat Adat Sub Suku Dayak Bugau, karena selama ini telah dikelola berdasarkan aturan dan sistem adat yang diwariskan oleh leluhur.

“Kami berharap Bapak Menteri dapat memberikan perhatian terhadap masyarakat adat Desa Jasa yang kehidupannya bergantung pada hasil pertanian dan perkebunan. Kami siap berdialog dan menyerahkan data pendukung demi terwujudnya keadilan agraria yang berkelanjutan,” tulis warga dalam surat terbuka yang disampaikan kepada pemerintah.

Kepala Desa Jasa, Emil Salim, membenarkan adanya aksi penolakan tersebut. Ia menjelaskan bahwa gerakan itu merupakan aspirasi asli masyarakat tanpa ada dorongan dari pihak luar.

“Saya memang tidak berada di lokasi saat warga menyampaikan orasi di tugu Garuda Pancasila. Itu murni inisiatif masyarakat yang merasa terdampak langsung,” jelas Emil saat dikonfirmasi pada Rabu (5/11/2025).

Masyarakat berharap agar pemerintah, baik di tingkat kabupaten maupun pusat, segera turun tangan untuk menyelesaikan persoalan ini secara bijaksana, agar tidak berkembang menjadi konflik sosial yang lebih luas antara warga dan pihak kehutanan.

Warga juga menegaskan bahwa tindakan mereka bukan bentuk penentangan terhadap kebijakan pemerintah, melainkan upaya mempertahankan hak kelola, ruang hidup, serta identitas adat yang telah diwariskan secara turun-temurun di tanah leluhur mereka.

(Rilis Kominfo)

Related Posts

Tinggalkan Balasan