Sintang zkr.com. Meskipun Kabupaten Sintang saat ini berada dalam kondisi sosial yang relatif kondusif, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kabupaten Sintang, Kusnidar, mengingatkan seluruh pemangku kepentingan dan masyarakat agar tidak lengah terhadap potensi konflik sosial yang bisa terjadi sewaktu-waktu.
Pernyataan ini disampaikannya saat ditemui pada Selasa, 24 Juni 2025, di sela-sela rapat kerja bersama jajaran camat dan aparat keamanan wilayah. Menurut Kusnidar, kondisi tenang bukan berarti Kabupaten Sintang bebas dari ancaman konflik.
“Kalau dibilang ada konflik memang belum. Tapi potensi itu ada dan kita harus jujur mengakuinya. Justru karena tidak ada konflik besar, kita harus lebih waspada,” tegas Kusnidar.
Dalam penjelasannya, Kusnidar menyoroti bahwa potensi konflik sosial di Kabupaten Sintang umumnya bersumber dari kebijakan nasional yang langsung menyentuh masyarakat di tingkat bawah, terutama ketika pelaksanaan kebijakan tersebut tidak disertai dengan pendekatan yang komunikatif dan edukatif.
Beberapa isu yang disebut cukup rawan memicu gesekan sosial antara lain:
- Pertambangan Tanpa Izin (PETI) yang masih marak di beberapa wilayah pedalaman.
- Aktivitas koperasi Merah Putih yang menimbulkan kebingungan di masyarakat desa.
- Konflik lahan dengan perusahaan perkebunan, yang menurutnya sering kali berada dalam status “diam tapi ada”.
“Hal-hal seperti ini kadang muncul di masyarakat, menimbulkan pertanyaan, ketidakpahaman, lalu menjadi kesenjangan. Jika tidak ditangani dengan baik, ketidakpahaman bisa berkembang menjadi ketegangan,” jelas Kusnidar.
Sebagai bentuk antisipasi dan deteksi dini terhadap potensi konflik, Kesbangpol Sintang kini mengubah pola dalam rapat kerja. Bila sebelumnya laporan berasal dari pimpinan organisasi perangkat daerah (OPD), kini pihaknya justru mengundang para camat dan Kapolsek untuk menyampaikan kondisi riil di lapangan secara langsung.
“Kami ingin mendengar langsung dari mereka yang bersentuhan dengan masyarakat setiap hari. Camat dan Kapolsek adalah ujung tombak. Mereka tahu lebih banyak tentang dinamika sosial dibanding laporan resmi atau data di media sosial,” ujar Kusnidar.
Menurutnya, informasi yang disampaikan dari level bawah inilah yang akan menjadi bahan utama dalam perumusan kebijakan daerah, khususnya dalam penanganan konflik sosial.
Kusnidar secara khusus menyoroti konflik agraria dan lahan perkebunan yang kerap terjadi di beberapa kecamatan di Kabupaten Sintang. Menurutnya, konflik tersebut jarang muncul ke permukaan namun keberadaannya nyata.
“Kadang masyarakat diam bukan karena setuju, tapi karena belum tahu harus mengadu ke siapa. Kondisi yang ‘silent’ seperti ini sangat berbahaya, karena bisa meledak sewaktu-waktu,” ujarnya.
Ia meminta agar aparat pemerintah desa, kecamatan, dan pihak keamanan untuk aktif melakukan pemetaan sosial, termasuk mendeteksi potensi gesekan antara warga dan pihak swasta yang mengelola lahan berskala besar.
Lebih lanjut, hasil rapat kerja tersebut akan ditindaklanjuti oleh Tim Dewan Urusan Penanganan Konflik Sosial (DU-PKS) Kabupaten Sintang. Tim ini akan menyusun rekomendasi berbasis data dan aspirasi dari lapangan, yang kemudian akan disampaikan kepada Bupati Sintang sebagai dasar pengambilan keputusan dan langkah strategis.
“Kami tidak ingin membuat kebijakan berdasarkan asumsi atau data sekunder. Kami ingin semua langkah yang diambil benar-benar berdasarkan masukan dari bawah. Maka, pertemuan ini penting untuk dengar langsung dari camat dan pihak keamanan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat,” tutur Kusnidar.
Kusnidar juga mengajak semua elemen masyarakat untuk berperan serta dalam menjaga ketenteraman dan kedamaian daerah. Ia menekankan bahwa pencegahan konflik adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya tugas pemerintah atau aparat keamanan.
“Kami harap semua pihak, baik tokoh masyarakat, tokoh agama, maupun pemuda, bisa bersinergi untuk menciptakan ruang sosial yang terbuka dan damai. Jangan menunggu konflik terjadi baru bergerak,” tutup Kusnidar.